saptoda

Wednesday, January 10, 2007

MUSISI INDONESIA DI ALAM KHAYALAN

Mayoritas musik Indonesia sekarang-sekarang ini, entah yang dibawaain sama grup/penyanyi solo papan atas atau para pendatang baru, isinya sama ajah: roman picisan alias cinta-cintaan kain gombal thok yang ceritanya kalo nggak lagi jatuh cinta atau putus cinta ya selingkuh. Jelas banget ini ada hubungannya dengan imaginasi musikalitas para musisi kita yang kayaknya langsung salah urat atau keseleo ketika harus berhadapan dengan tema-tema yang lebih membumi gitu. Mereka sepertinya nggak mau nyoba-nyoba atau malah jangan-jangan lebih parah dari itu – nggak bisa ngebuat lagu yang isinya bertema lain selain cinta doang. Bayangkan dalam satu album berisi 10 atau 12 lagu milik banyak grup atau penyanyi solo kita hampir nggak ditemuin tema lain selain tema cinta yang bikin bosen dan ngeselin. Dan anehnya pihak rekaman, major label khususnya, yang menaungi mereka nggak melakukan seleksi lagu dari artis-artisnya. Gimana ini?
Para musisi kita nggak tanggap membaca banyaknya hal yang sebenarnya bisa digali dalem-dalem untuk menciptakan karya dengan tema beragam. Isu Alam, kriminalitas, kesehatan, keluarga, masyarakat, politik, perekonomian dan lainnya bisa tuh kalau mau kreatif dijadikan fondasi lirik-lirik lagu. Sedemikian susahkah mencari nada-nada yang mudah dicerna dan yang pas untuk kemudian digabungkan dengan lirik yang isinya tidak melulu masalah cintrong? Owalah rek, dunia musik kita kok sudah persis film-film Bollywood India yang isinya cinta gombalan melulu yang setingnya kebanyakan di dunia yang serba indah persis di alam khayalan. Sialnya lagi, penikmat musik nggak mau mengkritisi masalah ini, dan lucunya saat menjadi penonton acara musik live di TV mereka malah semangat banget mengacung-acungkan jari dengan simbol metal selepas sebuah grup atau solois terkenal menyelesaikan satu lagu andalan mereka, sekalipun lagu yang dibawain itu mellow banget.
Kalo sudah begitu siapa pihak yang paling bertanggung jawab untuk dikritisi? Meneketehe? Ya, mustinya para musisi itu sendiri kalo mau bicara jujur. Lagi-lagi akan lucu juga kalo dalam acara dengan tema tertentu seperti peringatan hari AIDS sedunia misalnya, lagu yang dinyanyiin malah “Demi Waktu”, “Buaya Darat”, atau “My Heart” dan sejenisnya yang semodel dengan itu dan bukannya lagu yang relevan yang bisa disuguhkan kepada publik. Beruntunglah para musisi kita karena para promotor musik atau pihak stasiun TV yang mau menggelar konser dengan tema-tema tertentu sejauh ini juga nggak menuntut mereka supaya membawakan lagu baru ciptaan mereka yang disesuaikan dengan tema yang mau diusung.
Semestinya, kalau lagu cinta yang bikin mabok dan mual ajah bisa dibalut sama irama yang dibagus-bagusin oleh para musisi kita, kenapa lagu dengan tema lain yang lebih bermakna nggak bisa? Terus kalo para musisi sekarang ini nggak juga mampu menghasilkan karya yang lebih punya makna, sepertinya para produser, baik dari major label atau jalur indie, musti melirik musisi-musisi baru yang mau membawa aroma dan kreatifitas baru buat para penikmat musik.


Jakarta, 10 Januari 2007